Candi Jago
Diposting oleh aisyah , Jumat, 24 Januari 2014 07.10
CANDI JAGO
Nama lokal lain dari Candi Jago adalah Candi Tumpang atau Cungkup. Kata “Jago” berasal dari “Jajaghu” yang artinya “Keagungan” (divine), didirikan pada masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang atau sekitar 22 km dari Kota Malang
Sebagai sebuah tempat suci bersemayamnya seorang raja, Candi Jago tidak hanya menjadi sakral dan dianggap suci, tetapi juga menyimpan daya magis yang bercampur dengan manifestasi estetis sebagai simbol guna menghormati dan mengenang raja.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti Manjustri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214.
KARYA: AISYAH VELYA A
Candi Jago
Sebagai candi pendarmaan, Candi Jago menampilkan wujud dan karakter sang raja. Corak candi adalah Siwa-Buddha (percampuran Hindu-Buddha pada Dinasti Singosari) sesuai dengan aliran yang dianut raja. Diperkirakan candi diresmikan tahun 1280, dan mungkin telah mengalami renovasi (pembangunan kembali) oleh Raja Adityawarman pada masa Majapahit sesudahnya.
Seperti candi pada umumnya, Candi Jago memiliki denah persegi panjang dengan tiga teras yang masing-masing memiliki selasar yang kian mengerucut di bagian atas di mana terdapat teras bagian belakang (menandakan bagian paling suci di tempat tertinggi). Keunikan yang membedakan dengan candi lainnya, ialah bentuknya yang mirip dengan bangunan punden berundak era Megalitikum. Hal tersebutlah yang menguatkan makna sakralitas candi sebagai tempat pemujaan. Serupa dengan Candi Kidal dan Candi Brahu yang diperkirakan berfungsi sama, pada bagian tertinggi terdapat relung menyerupai pintu yang hampir seluruh sisinya dihiasi bunga dan sulur sebagai simbol ketuhanan (divine/God/universe) maupun pencerahan.
Candi Jago di lihat dari bawah
Kisah pada relief terbagi ke dalam dua karakter, yaitu Hindu dan Buddha. Cerita Parthayajna, Arjunawiwaha, dan Kalayawana adalah Hindu, sementara cerita Tantri/Pancatantra, Anglingdarma, dan Kunjarakarna adalah Buddha.
Parthayajna
Cerita binatang (Parthayajna) di mana kita bisa membaca melalui relief kura-kura yang terbang dengan menggigit tongkat yang dibawa burung bangau, kemudian serigala yang memangsa kura-kura yang terjatuh dari langit karena kesombongannya dan perlawanannya terhadap hakikat hidupnya di daratan dan di perairan, bukan di langit. Dilanjutkan dengan kisah Arjunawiwaha yang bercerita tentang Anglingdarma yang melihat percumbuan Naga Gini dan Ular Tampar.
Pula hadiah berupa Aji Geneng (ilmu bahasa binatang) yang diberikan Naga Raja pada Anglingdarma dengan syarat bahwa ilmu tersebut tak boleh diajarkan pada orang lain, bahkan kepada permaisuri Anglingdarma yang membujuk dan mengancam untuk diajarkan, hingga mati terbakar karena perkataannya sendiri. Di sinilah kita dapat memaknai tentang perselingkuhan, kemarahan, pengkhianatan, fitnah , kelicikan, kebohongan (kejujuran), dan amanah.
Kalayawana dan Kresna
Posting Komentar